Aatifa Journalist - Liputan6.com, London - Malaysia Airlines Penerbangan MH370 menjadi misteri terbesar dalam dunia penerbangan di Abad ke-21. Bahkan mungkin sepanjang masa. Boeing 777-200 ER itu lenyap dalam penerbangan dari Kuala Lumpur, Malaysia, menuju Beijing, China, pada Sabtu 8 Maret 2014. Lebih dari 2 bulan lalu.
Analisis data satelit dari 7 'ping' MH370 menyimpulkan, pesawat yang membawa 239 orang di dalamnya itu berakhir di Samudera Hindia. Pencarian besar-besaran dilakukan, namun hasilnya nihil. Tak ada bukti fisik keberadaan kapal terbang nahas itu yang ditemukan, apalagi menentukan penyebab tragedi tersebut.
Di tengah ketidakpastian soal penyebab kecelakaan MH370, sebuah buku muncul, menawarkan sebuah teori luar biasa: pesawat milik maskapai negeri jiran tersebut diduga tak sengaja ditembak jatuh dalam latihan militer gabungan Amerika Serikat dan Thailand.
Buku berjudul, 'Flight MH370: The Mystery' ditulis oleh Nigel Cawthorne, salah satu pengarang buku paling produktif di Inggris yang sudah menerbitkan 150 buku.
Analisis data satelit dari 7 'ping' MH370 menyimpulkan, pesawat yang membawa 239 orang di dalamnya itu berakhir di Samudera Hindia. Pencarian besar-besaran dilakukan, namun hasilnya nihil. Tak ada bukti fisik keberadaan kapal terbang nahas itu yang ditemukan, apalagi menentukan penyebab tragedi tersebut.
Di tengah ketidakpastian soal penyebab kecelakaan MH370, sebuah buku muncul, menawarkan sebuah teori luar biasa: pesawat milik maskapai negeri jiran tersebut diduga tak sengaja ditembak jatuh dalam latihan militer gabungan Amerika Serikat dan Thailand.
Buku berjudul, 'Flight MH370: The Mystery' ditulis oleh Nigel Cawthorne, salah satu pengarang buku paling produktif di Inggris yang sudah menerbitkan 150 buku.
Menurut teori dalam buku itu, salah tembak tersebut mungkin telah ditutup-tutupi karena pemerintah tidak ingin ada serangan balasan. Data yang dikirim untuk memandu pencarian -- pertama di Selat Malaka dan kemudian ke selatan Samudera Hindia -- menurut Cawthorne, adalah tipu muslihat untuk menutupi kenyataan.
Cawthorne mendasarkan teorinya pada saksi mata di Selandia Baru, seorang pekerja rig minyak, Mike McKay yang mengaku melihat bola api di langit dari tempatnya bekerja di Laut China Selatan pada 8 Maret dini hari.
"Sejak pertama saat aku melihat objek (diduga pesawat) hingga api keluar (masih di ketinggian) adalah 10-15 detik. Tidak ada pergerakan lateral, tak jelas apakah itu menuju ke arah kami, tetap di sana, atau menjauh," kata McKay pada para bosnya dalam surat elektronik sesaat setelah insiden, seperti Liputan6.com kutip dari News.com.au, Senin (19/5/2014).
Bukti kedua, menurut Cawthorne, pencarian besar-besaran yang dilakukan sejumlah negara tak membuahkan hasil. "Setelah semua dilakukan, tidak ada puing-puing yang ditemukan di sebelah selatan Samudra Hindia. Itu saja sudah mencurigakan," tambah dia.
Kepada TVNZ, Nigel Cawthorne membantah teorinya prematur. Meski demikian, itu masih belum menjawab apa yang terjadi pada puing-puing pesawat MH370.
Keluarga korban yang berduka mengritik penerbitan buku tersebut yang terlalu cepat namun tak menawarkan jawaban apapun. Salah satunya keluarga penumpang asal Brisbane, Rod Burrows, meminta semua orang memahami kesedihan keluarga yang masih menanti selama lebih dari 71 hari, tanpa kepastian.
"Tak ada jawaban sama sekali yang ditawarkan," kata Irene Burrows, ibu Rod, seperti dimuat Daily Mail. "Ini sangat menghancurkan perasaan keluarga yang 10 minggu namun tak mendapatkan kejelasan apapun."
Inspirasi Film
Sementara, penulis dunia penerbangan, Christine Negroni yang menulis 'Deadly Departure on TWA Flight 800', juga sedang mengerjakan sebuah buku tentang Malaysia Airlines. Judulnya 'Crashed' yang akan dipublikasikan oleh penerbit Penguin.
Sebuah film tentang hilangnya MH370 juga sedang digarap dan akan dirilis dalam beberapa bulan. Rupesh Paul Productions mempromosikan The Vanishing Act, film tentang tragedi pesawat kepada para pembeli di Cannes Film Festival.
Poster film tersebut menjanjikan 'kisah yang belum diungkap' tentang pesawat yang hilang, namun dalam sebuah wawancara pada hari Jumat, direktur asosiasi film, Sritama Dutta mengatakan, satu-satunya kesamaan antara thriller dan kecelakaan MH370 adalah soal pesawat yang hilang.
"Tak ada kesamaan yang lain," kata Dutta, menambahkan ada begitu banyak perkembangan dalam kasus aktual yang tak bisa diikuti keseluruhannya. "Kami tak bisa bersaing dengan fakta yang sebenarnya, itu berubah setiap hari."
Sementara, Rupesh Paul mengaku didekati oleh seorang wartawan Malaysia yang mengaku ia tahu apa yang terjadi pada MH370. Paul membantah pihaknya tak sensitif pada keluarga korban. Dalihnya, masyarakat hanya ingin tahu yang sebenarnya. "Semua orang di dunia, mereka ingin tahu apa yang terjadi," kata dia.
Mantan PM Malaysia: Tanya CIA
Cawthorne mendasarkan teorinya pada saksi mata di Selandia Baru, seorang pekerja rig minyak, Mike McKay yang mengaku melihat bola api di langit dari tempatnya bekerja di Laut China Selatan pada 8 Maret dini hari.
"Sejak pertama saat aku melihat objek (diduga pesawat) hingga api keluar (masih di ketinggian) adalah 10-15 detik. Tidak ada pergerakan lateral, tak jelas apakah itu menuju ke arah kami, tetap di sana, atau menjauh," kata McKay pada para bosnya dalam surat elektronik sesaat setelah insiden, seperti Liputan6.com kutip dari News.com.au, Senin (19/5/2014).
Bukti kedua, menurut Cawthorne, pencarian besar-besaran yang dilakukan sejumlah negara tak membuahkan hasil. "Setelah semua dilakukan, tidak ada puing-puing yang ditemukan di sebelah selatan Samudra Hindia. Itu saja sudah mencurigakan," tambah dia.
Kepada TVNZ, Nigel Cawthorne membantah teorinya prematur. Meski demikian, itu masih belum menjawab apa yang terjadi pada puing-puing pesawat MH370.
Keluarga korban yang berduka mengritik penerbitan buku tersebut yang terlalu cepat namun tak menawarkan jawaban apapun. Salah satunya keluarga penumpang asal Brisbane, Rod Burrows, meminta semua orang memahami kesedihan keluarga yang masih menanti selama lebih dari 71 hari, tanpa kepastian.
"Tak ada jawaban sama sekali yang ditawarkan," kata Irene Burrows, ibu Rod, seperti dimuat Daily Mail. "Ini sangat menghancurkan perasaan keluarga yang 10 minggu namun tak mendapatkan kejelasan apapun."
Inspirasi Film
Sementara, penulis dunia penerbangan, Christine Negroni yang menulis 'Deadly Departure on TWA Flight 800', juga sedang mengerjakan sebuah buku tentang Malaysia Airlines. Judulnya 'Crashed' yang akan dipublikasikan oleh penerbit Penguin.
Sebuah film tentang hilangnya MH370 juga sedang digarap dan akan dirilis dalam beberapa bulan. Rupesh Paul Productions mempromosikan The Vanishing Act, film tentang tragedi pesawat kepada para pembeli di Cannes Film Festival.
Poster film tersebut menjanjikan 'kisah yang belum diungkap' tentang pesawat yang hilang, namun dalam sebuah wawancara pada hari Jumat, direktur asosiasi film, Sritama Dutta mengatakan, satu-satunya kesamaan antara thriller dan kecelakaan MH370 adalah soal pesawat yang hilang.
"Tak ada kesamaan yang lain," kata Dutta, menambahkan ada begitu banyak perkembangan dalam kasus aktual yang tak bisa diikuti keseluruhannya. "Kami tak bisa bersaing dengan fakta yang sebenarnya, itu berubah setiap hari."
Sementara, Rupesh Paul mengaku didekati oleh seorang wartawan Malaysia yang mengaku ia tahu apa yang terjadi pada MH370. Paul membantah pihaknya tak sensitif pada keluarga korban. Dalihnya, masyarakat hanya ingin tahu yang sebenarnya. "Semua orang di dunia, mereka ingin tahu apa yang terjadi," kata dia.
Mantan PM Malaysia: Tanya CIA
Secara terpisah, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan Boeing dan Badan Inteijen Pusat AS (CIA) harus ditanyai terkait hilang Penerbangan MH370.
"Seseorang menyembunyikan sesuatu. Ini tidak adil hanya menimpakan kesalahan pada Malaysia Airlines (MAS) dan Malaysia," kata dia dalam blognya Chedet.cc seperti Liputan6.com kutip dari Financial Express.
Dalam blog-nya, Mahathir menyatakan sudut pandang dan teori tentang pesawat yang hilang secara misterius pada tanggal 8 Maret. Ia mengatakan, ada yang salah mengapa media tidak memuat apapun tentang Boeing atau Central Intelligence Agency (CIA)
"Apa yang naik pasti harus turun. Pesawat bisa naik dan tetap terbang untuk jangka waktu yang lama. Namun, mereka akhirnya pasti turun, mendarat dengan aman atau mereka mungkin celaka. Yang pasti, pesawat tidak bisa hilang begitu saja," katanya. "Tentu saja tidak hari ini dengan semua sistem komunikasi canggih yang beroperasi hampir tanpa batas dan memiliki kapasitas penyimpanan yang besar." (Yus)